Dunia pendidikan merupakan salah satu barometer bangsa yang dapat dijadikan sebagai acuan apakah suatu negara tersebut telah dapat berkembang menuju ke arah yang lebih baik. Di Indonesia, pemerintah mencantumkan pentingnya pendidikan itu di dalam Undang–Undang Dasar 1945 BAB XIII pasal 31 mengenai pendidikan dan kebudayaan. UUD 1945 pasal 31 ayat 3 menyatakan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanana dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang – undang dan UUD 1945 pasal 31 ayat 5 menyatakan bahwa pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai – nilai agama dan persatuan bangsa untuk peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005, proses pembelajaran yang baik harus diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik
sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik
Landasan program Pelangi Harapan Mengajar ini adalah pembelajaran asosiatif dengan landasan asosiasi sebagai prinsip dasar kinerja ingatan. Tidak perlu dipertanyakan lagi dan tidak perlu dijelaskan lebih jauh tentang struktur otak yang berlipat dengan berbagai hubungan diantara sel-selnya yang menakjubkan. Namun sebagai batu pijakan untuk penjelasan berikutnya tentang sistem pembelajaran asosiatif yang akan dibahas dalam artikel ini, maka artikel ini akan diawali dengan bagaimana otak memberi makna pada suatu obyek yang akan diingatnya. Obyek yang akan diingat tersebut sangat bervariasi. Mulai dari yang dapat diucapkan, hingga yang tidak dapat diwakili dengan ucapan. Mulai dari yang riil, hingga berbagai hal yang abstrak.
Semua hal dapat diingat oleh otak kita. Bahkan kita kekurangan waktu untuk mengingat semua hal tersebut. Karena dalam proses konsolidasi ingatan diperlukan waktu, sehingga ingatan kita yang tidak terbatas ternyata dibatasi oleh waktu. Waktu dapat menjadi sahabat paling baik bagi ingatan, bahkan bisa menjadi musuh terselubung bagi ingatan. Menjadi sahabat karena kita memanfaatkan waktu tersebut untuk mengingat kembali, memperkuat apa yang telah diingat. Sebaliknya menjadi musuh karena kita tidak melatih ingatan kita selama kurun waktu tertentu sehingga ingatan kita melemah. Maka, karena waktu merupakan faktor pembatas bagi ingatan kita, otak memiliki mekanisme efisiensi kinerja terhadap waktu. Yaitu lupa. Terutama lupa terhadap hal-hal yang telah lampau. (Restak, 2004)
Otak kita mencakup masa lalu, masa kini, dan masa depan. Semua terhubung baik secara sistematis maupun tidak sistematis, karena beberapa orang memiliki alur berpikir yang tidak sistematis. Dari alur ingatan masa lalu hingga masa depan tersebut, dapat terlihat adanya asosiasi. Semuanya berhubungan. (Restak, 2004)
Sampai saat ini, belum ada definisi tentang ingatan. Yang ada sampai saat ini ada mekanisme terbentuknya ingatan, yaitu dengan prinsip asosiasi itu sendiri. Dan jika harus mendefinisikan arti ingatan, maka ingatan itu adalah asosiasi yang terbentuk di dalam otak kita, terdefinisikan melalui mekanisme pembentukannya. Mengapa? Karena hampir tidak ada yang kita ingat tanpa asosiasi. Misalnya, jika saya mengatakan sendok, maka ingatan anda memanggil asosiasi berupa gambaran dalam otak anda mengenai bentuk atau gambaran berbagai macam sendok, padahal bentuk gelombang suara yang diterima telinga sangat berbeda dengan bentuk sendok yang terbayang di dalam otak. Kita tidak dapat mengingat kata sendok sebelum kata sendok itu diucapkan atau dituliskan ketika kita melihat benda tersebut. (Jensen, 2002)
Contoh lain misalnya kita tidak mengingat apakah sendok itu kecil, sebelum kita melihat sendok yang lebih besar. Maka dalam hal ini, terdapat asosiasi atau hubungan ukuran sehingga otak mampu mengingatnya. Setelah terbentuknya asosiasi di dalam otak, maka otak mencerna makna dari asosiasi tersebut kemudian mengingatnya. Jika hanya kata sendok, tanpa makna, maka akan sulit diingat. Tanpa makna berarti tidak penting, dan tidak perlu diingat.
Ilmu pengetahuan yang kita pelajari selama ini juga saling berasosiasi satu sama lain. Semua ilmu pengetahuan saling berhubungan, hanya saja kita sering tidak melihat hubungan tersebut karena memang dalam kurikulum serta berbagai materi yang diajarkan di bangku sekolah tidak membahas hubungan tersebut. Ilmu pengetahuan yang kita terima selama ini terpisah-pisah satu sama lain sehingga tanpa sadar banyak yang kita lupakan karena rendahnya asosiasi yang berimplikasi pada rendahnya pemaknaan oleh otak. Sebaliknya, jika saat di bangku sekolah diajarkan tentang hubungan-hubungan antar ilmu pengetahuan tersebut, maka semakin kuat asosiasi yang terbentuk, semakin banyak pemaknaan oleh otak terhadap suatu informasi yang kita peroleh, dan semakin kuat ingatan kita terhadap materi yang kita dapatkan di bangku sekolah. (Jensen, 2002)
Dalam beberapa mata pelajaran telah berasosiasi dengan baik, misalnya matematika dan fisika. Dalam matematika kita belajar bagaimana menghitung, selanjutnya dalam fisika kita menggunakannya dalam berbagai rumus. Namun selanjutnya kita hanya ingat bagaimana menghitung dan melupakan berbagai rumus fisika tersebut karena tidak diasosiasikan dengan pelajaran lainnya. Mungkin diantara berbagai deret pola-pola angka yang pernah dipelajari dalam matematika, kita hanya mengingat deret fibonacci yang sering diasosiasikan dengan rumus filotaksis daun tumbuhan ½, 2/3, 3/5, 5/8, dan seterusnya.
Banyak wajah-wajah pahlawan yang kita lupakan setelah kita belajar sejarah, kecuali yang terasosiasikan dengan mata uang. Sultan Mahmud Badaruddin (Rp10.000), Pangeran Antasari (Rp2000), I Gusti Ngurah Rai (Rp50.000), serta Kapitan Pattimura (apakah anda ingat berapa nominalnya?). Mungkin mata pelajaran sejarah perlu diasosiasikan dengan mata pelajaran seni lukis dan geografi. Yang perlu dilakukan untuk mengasosiasikannya adalah dengan menyatukan tema dan penugasan mengenai tema tersebut. Misalnya dalam geografi dipelajari tentang perkotaan, kaitkan kota-kota tersebut dengan tokoh-tokoh pahlawan yang terlibat dalam sejarah serta diberikan penugasan dalam mata pelajaran seni lukis tentang peta kota-kota di Indonesia sehingga ketiga mata pelajaran tersebut dapat diingat hanya dalam satu penugasan (jika perlu tempelkan mata uang bergambar pahlawan di dalam peta).
Mata pelajaran biologi pun akan menarik jika diasosiasikan dengan bahasa inggris, dan seni lukis misalnya. Caranya sama, yaitu dengan menyatukan tema. Misalkan dengan tema tanaman pada suatu minggu. Maka pada minggu itu, ketiga pelajaran tersebut membahas tanaman. Pada biologi tentang seluk-beluk tanaman misalnya, kemudian bahasa inggris juga membahas hal yang terkait dengan tema tersebut (tentunya dalam bahasa inggris), dan selanjutnya melukis bagian-bagian tanaman dengan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
Pendidikan bukan sekadar persoalan teknik pengolahan informasi, bahkan bukan penerapan ‘teori belajar’ di kelas atau menggunakan hasil ‘ujian prestasi’ yang berpusat pada mata pelajaran (subject centered ‘achievement testing). Pendidikan merupakan usaha yang kompleks untuk menyesuaikan kebudayaan dengan kebutuhan anggotanya, dan menyesuaikan anggotanya dengan cara mereka mengetahui kebutuhan kebudayaan.” (Jerome Bruner, dalam buku The Culture of Education). Seorang Susan Isaacs[1[1]] berpandangan bahwa perkembangan intelektual anak berhubungan dengan perkembangan emosional. Ia juga berpendapat bahwa kebebasan di ruang kelas akan menghilangkan hambatan proses belajar atau distorsi perkembangan watak. Ia membangun budaya kebebasan dan mendorong permainan sebagai metode mengungkapkan kehidupan naluriah (instinctual life), upaya memahami dunia, dan mengembangkan keterampilan yang tersublimasi. Dengan demikian, pendidikan adalah usaha pengalihan naluri primitive agar mau mempelajari aktivitas-aktivitas yang dapat diterima oleh norma masyarakat. Proses inilah yang dimaksud sebagai sublimasi (Palmer, 2010).
Konsep kurikulum kemanusiaan memiliki pendekatan pada keluwesan peserta didik untuk dapat mengekspresikan perasaannya dengan seni, menampung-menjawab curiosity, penetrasi budaya setempat, dan memisahkan paradigma masyarakat yang mengaitkan pendidikan dengan matreri.
Kebebasan ekspresi peserta didik ditujukan agar dapat mengungkap seluruh potensi yang dimiliki. Karena, budaya pendidikan Indonesia selama ini dinilai kurang memfasilitasi segala ekspresi. Alur dan standar baku penilaian murid mulai dari taman kanak-kanak terlalu mengekang dan membatasi pola pikir dan kebebasan peserta didik. Hal ini sudah dikupas dalam buku A Life Freeing The Minds Of Children, sebuah buku biografi Susan Isaacs. Kebebasan berekspresi memiliki pendekatan dengan teori psikoanalisis pada dunia psikologi dan kaitannya dengan dunia pendidikan. Potensi anak didik akan tereksplor secara luwes jika dalam keadaan diluar adanya tekanan (represi). Sehingga, anak dapat mengapresiasi segala fenomena yang ada didepan matanya. Akan tetapi, pada tahun 1926 Susan Isaacs mengubah cara pandangnya terhadap aspek kebebasan dalam dunia pendidikan yang berkembang di Wina saat itu. Karena, walaupun pendidikan adalah proses sublimasi naluri, naluri yang bebas dapat juga menghambat perkembangan alami proses belajar anak. Perilaku tanpa kontrol dapat membebaskan segala keinginan naluriah anak yang belum tentu sesuai dengan kapasitasnya. Kebebasan ekspresi dalam konsep kurikulum kemanusiaan disini merupakan sebuah metode melepaskan ekspresi anak secara luwes dengan pengontrolan keseimbangan ego dan pembatasannya.
Ekspresi tersebut disokong oleh adanya upaya untuk selalu dapat memfasilitasi keingintahuan anak. Sedangkan, sistem kurikulum Indonesia yang mempunyai standar merata pada setiap anak, dapat menumpulkan ketajaman analisis anak. Contohnya, misalkan hal yang ingin di ketahui anak adalah tentang cara berenang untuk dapat menjadi atlit renang di masa depan, sedangkan standar sekolah dan pengajar mengimbau untuk belajar Kewarganegaraan. Artinya, setiap anak memiliki rasa keingintahuan yang tinggi saat ia melihat berbagai fenomena yang terjadi, akan tetapi keingintahuan tersebut perlu dibimbing dan diarahkan. Standar pendidikan memang perlu diadakan, namun hal itu harus diseimbangkan dengan kecenderungan peserta didik. Hal ini bertujuan untuk dapat memelihara kebebasan berpikir anak dan menghindarkannya dari tekanan dengan selalu memfasilitasi curiosity (keingintahuan) peserta didik.
[1] Susan Isaacs merupakan seorang psikolog yang berasal dari Bolton, Lancaishire. Adalah seorang psikolog yang memasukkan ide-ide psikoanalisis ke dalam pendidikan progresif di Inggris. Ia juga member andil bagi teori psikoanalisis dengan karyanya mengenai kehidupan ”fantasi bawah sadar” (unconscious phantasy) yang berakar pada pemahamannya tentang anak-anak. (di kutip dari buku 50 Pemikir Paling Berpengaruh terhadap Dunia Pendidikan Modern, Editor Joy A. Palmer)
Kebebasan berekspresi dan menumbuhkan curiosity dalam pendidikan sangat tidak mungkin jika tidak ada perlakuan khusus yang menghalau budaya dan nilai setempat yang berlaku. Di Indonesia, pendidikan kiranya merupakan sebuah hal yang melulu dilibatkan dengan materi. Sehingga, pendidikan dipandang sebagai sebuah hal yang eksklusif dan tidak ubahnya seperti zaman penjajahan dulu. Anak-anak sekolah dasar di kampung Situ Leutik, Darmaga, Bogor masih beranggapan bahwa sekolah adalah sesuatu hal yang mewah. “Saya pengen lanjutin SMP Satu Darmaga, kak. Cuman saya enggak tahu mau bayarnya pakai apa?”, kata mereka saat acara Community Development mahasiswa Institut Pertanian Bogor.
Sistem pendidikan Indonesia juga terkenal dengan banyaknya mata pelajaran utama yang seakan menjejali peserta didik. Betapa tidak? Siswa SD sudah di berikan 8 buah mata pelajaran yang harus di tempuh. Yakni, bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Kewarganegaraan, Matematika, IPA, IPS, seni dan budaya, serta Agama. Siswa SMP diberikan 13 mata pelajaran dengan menambah bahasa daerah, pengetahuan lingkungan hidup (bogor dan sekitarnya), dan mata pelajaran muatan lokal lainnya.
Memang tidak dapat kita pungkiri bahwa setiap mata pelajaran tersebut sangatlah penting untuk di pelajari. Namun, anak harus diberi kesempatan luang untuk memilih dan bertanggung jawab atas pilihan yang mereka pilih. Ruang untuk menyalurkan minat dan bakat pun dinilai masih minim dan cenderung masih umum. Ruang tersebut kebanyakan hanya difasilitasi satu sampai dua mata pelajaran muatan lokal dan beberapa kegiatan ekstrakurikuler.
Sistem pendidikan ini dapat mendidik anak menjadi serba general dan umum. Anak tidak memiliki pikiran yang spesifik dan mantap. Ini akan berdampak pada tingkat kemampuan anak untuk bercita-cita dan menentukan masa depannya kelak. Karena, sedari kecil mereka dijejali dengan pengetahuan yang umum lagi banyak memakai waktu bermain (baca: mengasah minat dan bakat) yang mereka miliki. Mereka disibukan dengan pencapaian standar baku pendidikan sekolah dan tugas-tugas yang diberikan.